Sektor
Pertanian dan perannya dalam perekonomian Indonesia
Struktur
perekonomian Indonesia tentang
bagaimana arah kebijakan perekonomian Indonesia merupakan
isu
menarik.
Gagasan mengenai langkah-langkah perekonomian Indonesia menuju era
industrialisasi, dengan mempertimbangkan usaha mempersempit jurang
ketimpangan sosial dan pemberdayaan daerah, sehingga terjadi
pemerataan kesejahteraan kiranya perlu kita evaluasi kembali sesuai
dengan konteks kekinian dan tantangan perekonomian Indonesia di era
globalisasi
(Firmanzah,
2010).
Tantangan perekonomian di era globalisasi ini masih sama dengan era sebelumnya, yaitu bagaimana subjek dari perekonomian Indonesia, yaitu penduduk Indonesia sejahtera. Indonesia mempunyai jumlah penduduk yang sangat besar, sekarang ada 235 juta penduduk yang tersebar dari Merauke sampai Sabang. Jumlah penduduk yang besar ini menjadi pertimbangan utama pemerintah pusat dan daerah, sehingga arah perekonomian Indonesia masa itu dibangun untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.
Berdasarkan pertimbangan ini, maka sektor pertanian menjadi sektor penting dalam struktur perekonomian Indonesia. Seiring dengan berkembangnya perekonomian bangsa, maka kita mulai mencanangkan masa depan Indonesia menuju era industrialisasi, dengan pertimbangan sektor pertanian kita juga semakin kuat. Lewat tabel I ini, kita bisa mengetahui sektor-sektor yang bergerak lewat pertanian.
Tantangan perekonomian di era globalisasi ini masih sama dengan era sebelumnya, yaitu bagaimana subjek dari perekonomian Indonesia, yaitu penduduk Indonesia sejahtera. Indonesia mempunyai jumlah penduduk yang sangat besar, sekarang ada 235 juta penduduk yang tersebar dari Merauke sampai Sabang. Jumlah penduduk yang besar ini menjadi pertimbangan utama pemerintah pusat dan daerah, sehingga arah perekonomian Indonesia masa itu dibangun untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.
Berdasarkan pertimbangan ini, maka sektor pertanian menjadi sektor penting dalam struktur perekonomian Indonesia. Seiring dengan berkembangnya perekonomian bangsa, maka kita mulai mencanangkan masa depan Indonesia menuju era industrialisasi, dengan pertimbangan sektor pertanian kita juga semakin kuat. Lewat tabel I ini, kita bisa mengetahui sektor-sektor yang bergerak lewat pertanian.
Sektor
pertanian terdiri atas:
|
|
|
1.
Tanaman
pangan
1.1.Tanaman
Palawija biasanya
palawija berupa tanaman kacang-kacangan,
serealia
selain padi (seperti jagung),
dan umbi-umbian semusim (ketela
pohon dan ubi
jalar).
1.2.Padi
Keanekaragaman
budidaya:
-
Padi gogo
-
Padi rawa
|
Beberapa
masalah dalam produksi palawija :
-
Rendahnya
produktivitas lahan.
-
Rendahnya
tingkat penggunaan lahan.
-
Benih atau
bibit masih bersifat lokal.
-
Pengelolaan
yang masih tradisional.
-
Tingginya
tingkat susutan pasca panen.
|
|
2.
Perkebunan
-
Perkebunan
rakyat.
-
Perkebunan
besar.
|
Pengusahaan
tanaman perkebunan tersebut berlangsung dualistis, yaitu :
-
Diselenggarakan
rakyat secara perorangan.
-
Diselenggarakan
oleh perusahaan perkebunan (pemerintah atau swasta).
|
|
3.
Kehutanan
SUB
SEKTOR KEHUTANAN
-
Penebangan
kayu
-
Pengambilan
hasil hutan lain
-
Perburuan
|
Hutan
berdasarkan tata guna :
1.
Hutan
lindung.
2.
Suaka alam
dan hutan wisata.
3.
Hutan
produksi terbatas.
4.
Hutan
produksi tetap.
5.
Hutan
produksi yang dapat dikonversi.
|
|
4.
Peternakan
|
BPS
dalam melakukan perhitungan produksi pada sektor ini didasarkan
pada :
–
- Data pemotongan.
–
- Selisih stok atau
perubahan
–
- populasi.
–
- Ekspor netto.
|
|
5.
Perikanan
|
Faktor
penyebab lambannya pertumbuhan sub sektor ini :
-
Sarana
yang kurang memadai
-
Larangan
mengoperasikan pukat harimau (trawl).
-
Adanya
pencurian ikan secara besar-besaran oleh kapal asing tanpa
berhasil ditangkap oleh satuan patroli pantai perairan Indonesia.
-
Berkaitan
dengan perikanan darat khususnya udang, yaitu rendahnya
produktivitas lahan udang.
|
|
Potensi
bidang pertanian Indonesia
Seiring
dengan transisi (transformasi) struktural ini sekarang kita
menghadapi berbagai permasalahan. Di sektor pertanian kita mengalami
permasalahan dalam meningkatkan jumlah produksi pangan, terutama di
wilayah tradisional pertanian di Jawa dan luar Jawa. Hal ini karena
semakin terbatasnya lahan yang dapat dipakai untuk bertani.
Perkembangan penduduk yang semakin besar membuat kebutuhan lahan
untuk tempat tinggal dan berbagai sarana pendukung kehidupan
masyarakat juga bertambah. Perkembangan industri juga membuat
pertanian beririgasi teknis semakin berkurang.
Selain
berkurangya lahan beririgasi teknis, tingkat produktivitas pertanian
per hektare juga relatif stagnan. Salah satu penyebab dari
produktivitas ini adalah karena pasokan $air
yang mengairi lahan pertanian juga berkurang. Banyak waduk dan embung
serta saluran irigasi yang ada perlu diperbaiki. Hutan-hutan tropis
yang kita miliki juga semakin berkurang, ditambah lagi dengan siklus
cuaca El Nino-La Nina karena pengaruh pemanasan global semakin
mengurangi pasokan air yang dialirkan dari pegunungan ke lahan
pertanian.
Sesuai
dengan permasalahan aktual yang kita hadapi masa kini, kita akan
mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri.
Di kemudian hari kita mungkin saja akan semakin bergantung dengan
impor pangan dari luar negeri. Impor memang dapat menjadi alternatif
solusi untuk memenuhi kebutuhan pangan kita, terutama karena semakin
murahnya produk pertanian, seperti beras yang diproduksi oleh Vietnam
dan Thailand. Namun, kita juga perlu mencermati bagaimana arah ke
depan struktur perekonomian Indonesia, dan bagaimana struktur tenaga
kerja yang akan terbentuk berdasarkan arah masa depan struktur
perekonomian Indonesia.
Struktur tenaga kerja kita sekarang masih didominasi oleh sektor pertanian sekitar 42,76 persen (BPS 2009), selanjutnya sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 20.05 persen, dan industri pengolahan 12,29 persen. Pertumbuhan tenaga kerja dari 1998 sampai 2008 untuk sektor pertanian 0.29 persen, perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1,36 persen, dan industri pengolahan 1,6 persen.
Struktur tenaga kerja kita sekarang masih didominasi oleh sektor pertanian sekitar 42,76 persen (BPS 2009), selanjutnya sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 20.05 persen, dan industri pengolahan 12,29 persen. Pertumbuhan tenaga kerja dari 1998 sampai 2008 untuk sektor pertanian 0.29 persen, perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1,36 persen, dan industri pengolahan 1,6 persen.
Sedangkan
pertumbuhan besar untuk tenaga kerja ada di sektor keuangan,
asuransi, perumahan dan jasa sebesar 3,62 persen, sektor
kemasyarakatan, sosial dan jasa pribadi 2,88 persen dan konstruksi
2,74 persen. Berdasarkan data ini, sektor pertanian memang hanya
memiliki pertumbuhan yang kecil, namun jumlah orang yang bekerja di
sektor itu masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan sektor
keuangan, asuransi, perumahan dan jasa yang pertumbuhannya paling
tinggi.
Data
ini juga menunjukkan peran penting dari sektor pertanian sebagai
sektor tempat mayoritas tenaga kerja Indonesia memperoleh penghasilan
untuk hidup. Sesuai dengan permasalahan di sektor pertanian yang
sudah disampaikan di atas, maka kita mempunyai dua strategi yang
dapat dilaksanakan untuk pembukaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat
Indonesia di masa depan.
Strategi
pertama adalah melakukan revitalisasi berbagai sarana pendukung
sektor pertanian, dan pembukaan lahan baru sebagai tempat yang dapat
membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat Indonesia.
Keberpihakan bagi sektor pertanian, seperti ketersediaan pupuk dan
sumber daya yang memberikan konsultasi bagi petani dalam meningkatkan
produktivitasnya, perlu dioptimalkan kinerjanya. Keberpihakan ini
adalah insentif bagi petani untuk tetap mempertahankan usahanya dalam
pertanian. Karena tanpa keberpihakan ini akan semakin banyak tenaga
kerja dan lahan yang akan beralih ke sektor-sektor lain yang
insentifnya lebih menarik.
Strategi
kedua adalah dengan mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung bagi
sektor lain yang akan menyerap pertumbuhan tenaga kerja Indonesia.
Sektor ini juga merupakan sektor yang jumlah tenaga kerjanya banyak,
yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta industri
pengolahan. Sarana pendukung seperti jalan, pelabuhan, listrik adalah
sarana utama yang dapat mengakselerasi pertumbuhan di sektor ini.
Struktur
perekonomian Indonesia sekarang adalah refleksi dari arah
perekonomian yang dilakukan di masa lalu. Era orde baru dan era
reformasi juga telah menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi
sektor penting yang membuka banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat
Indonesia. Sektor pertanian juga menyediakan pangan bagi masyarakat
Indonesia.
Saat
ini kita mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan kebijakan yang
dapat membentuk struktur perekonomian Indonesia di masa depan. Namun,
beberapa permasalahan yang dihadapi sektor pertanian di masa ini
perlu segera dibenahi, sehingga kita dapat meneruskan hasil dari
kebijakan perekonomian Indonesia yang sudah dibangun puluhan tahun
lalu, dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia sampai saat
sekarang ini.
Peranan
Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Indonesia
Di Masa Depan
Kontibusi
terhadap kesempatan kerja
Kalau
dilihat pola perubahan kesempatan kerja di pertanian dan industri
manufaktur, pangsa kesempatan kerja dari sektor pertama menunjukkan
suatu pertumbuhan tren yang menurun, sedangkan di sektor kedua
meningkat. Perubahan struktur kesempatan kerja ini sesuai dengan yang
di prediksi oleh teori mengenai perubahan struktur ekonomi yang
terjadi dari suatu proses pembangunan ekonomi jangka panjang, yaitu
bahwa semakin tinggi pendapatan per kapita, semakin kecil peran dari
sektor primer, yakni pertambangan dan pertanian, dan semakin besar
peran dari sektor sekunder, seperti manufaktur dan sektor-sektor
tersier di bidang ekonomi. Namun semakin besar peran tidak langsung
dari sektor pertanian, yakni sebagai pemasok bahan baku bagi sektor
industri manufaktur dan sektor-sektor ekonomi lainnya.
Struktur
tenaga kerja kita sekarang masih didominasi oleh sektor
pertanian
sekitar 42,76 persen (BPS 2009), selanjutnya sektor perdagangan,
hotel, dan restoran sebesar 20.05 persen, dan industri pengolahan
12,29 persen. Pertumbuhan tenaga kerja dari 1998 sampai 2008 untuk
sektor pertanian 0.29 persen, perdagangan, hotel dan restoran sebesar
1,36 persen, dan industri pengolahan 1,6 persen.
Sedangkan
pertumbuhan besar untuk tenaga kerja ada di sektor keuangan,
asuransi, perumahan dan jasa sebesar 3,62 persen, sektor
kemasyarakatan, sosial dan jasa pribadi 2,88 persen dan konstruksi
2,74 persen. Berdasarkan data ini, sektor pertanian memang hanya
memiliki pertumbuhan yang kecil, namun jumlah orang yang bekerja di
sektor itu masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan sektor
keuangan, asuransi, perumahan dan jasa yang pertumbuhannya paling
tinggi.
Data
ini juga menunjukkan peran penting dari sektor pertanian sebagai
sektor tempat mayoritas tenaga kerja Indonesia memperoleh penghasilan
untuk hidup. Sesuai dengan permasalahan di sektor pertanian yang
sudah disampaikan di atas, maka kita mempunyai dua strategi
yang dapat dilaksanakan untuk pembukaan lapangan pekerjaan bagi
masyarakat Indonesia di masa depan.
Strategi
pertama
adalah melakukan revitalisasi berbagai sarana pendukung sektor
pertanian, dan pembukaan lahan baru sebagai tempat yang dapat membuka
lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat Indonesia. Keberpihakan bagi
sektor pertanian, seperti ketersediaan pupuk dan sumber daya yang
memberikan konsultasi bagi petani dalam meningkatkan
produktivitasnya, perlu dioptimalkan kinerjanya. Keberpihakan ini
adalah insentif bagi petani untuk tetap mempertahankan usahanya dalam
pertanian. Karena tanpa keberpihakan ini akan semakin banyak tenaga
kerja dan lahan yang akan beralih ke sektor-sektor lain yang
insentifnya lebih menarik.
Strategi
kedua
adalah dengan mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung bagi
sektor lain yang akan menyerap pertumbuhan tenaga kerja Indonesia.
Sektor ini juga merupakan sektor yang jumlah tenaga kerjanya banyak,
yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta industri
pengolahan. Sarana pendukung seperti jalan, pelabuhan, listrik adalah
sarana utama yang dapat mengakselerasi pertumbuhan di sektor ini.
Struktur
perekonomian Indonesia sekarang adalah refleksi dari arah
perekonomian yang dilakukan di masa lalu. Era orde baru dan era
reformasi juga telah menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi
sektor penting yang membuka banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat
Indonesia. Sektor pertanian juga menyediakan pangan bagi masyarakat
Indonesia.
Saat
ini kita mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan kebijakan yang
dapat membentuk struktur perekonomian Indonesia di masa depan. Namun,
beberapa permasalahan yang dihadapi sektor pertanian di masa ini
perlu segera dibenahi, sehingga kita dapat meneruskan hasil dari
kebijakan perekonomian Indonesia yang sudah dibangun puluhan tahun
lalu, dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia sampai saat
sekarang ini.
Kontribusi
pertanian terhadap devisa
Pertanian
juga mempunyai kontribusi yang besar terhadap peningkatan devisa,
yaitu lewat peningkatan ekspor dan atau pengurangan tingkat
ketergantungan Negara tersebut terhadap impor atas komoditi
pertanian. Komoditas ekspor pertanian Indonesia cukup bervariasi
mulai dari getah karet, kopi, udang, rempah-rempah, mutiara, hingga
berbagai macam sayur dan buah.
Peran
pertanian dalam peningkatan devisa bisa kontradiksi dengan perannya
dalam bentuk kontribusi produk. Kontribusi produk dari sector
pertanian terhadap pasar dan industri domestic bisa tidak besar
karena sebagian besar produk pertanian di ekspor atau sebagian besar
kebutuhan pasar dan industri domestic disuplai oleh produk-produk
impor. Artinya peningkatan ekspor pertanian bisa berakibat negative
terhadap pasokan pasar dalam negeri, atau sebaliknya usaha memenuhi
kebutuhan pasar dalam negeri bisa menjadi suatu factor penghambat
bagi pertumbuhan ekspor pertanian. Untuk mengatasinya ada dua hal
yang perlu dilakukan yaitu menambah kapasitas produksi dan
meningkatkan daya saing produknya. Namun bagi banyak Negara agraris,
termasuk Indonesia melaksanakan dua pekerjaan ini tidak mudah
terutama karena keterbatasan teknologi, SDM, dan modal.
Pada
2009 ekspor produk pertanian Indonesia baru mencapai 2,46 persen dari
total produksi beras yang dihasilkan petani di berbagai provinsi
dengan jumlah mencapai 69,5 juta ton gabah kering giling (GKG).
Selain
untuk ekspor produksi padi juga untuk memenuhi program bantuan beras
rakyat miskin (Raskin) yang setiap bulannya dibutuhkan 260 ribu ton
serta untuk cadangan pangan nasional setiap akhir tahun lebih dari
1,5 juta ton.
Kontribusi
pertanian terhadap produktivitas
Banyak
orang memperkirakan bahwa dengan laju pertumbuhan penduduk di dunia
yang tetap tinggi setiap tahun, sementara lahan-lahan yang tersedia
untuk kegiatan-kegiatan pertanian semakin sempit, maka pada suatu
saat dunia akan mengalami krisis pangan (kekurangan stok), seperti
juga diprediksi oleh teori Malthus. Namun keterbatasan stok pangan
bisa diakibatkan oleh dua hal: karena volume produksi yang rendah (
yang disebabkan oleh faktor cuaca atau lainnya), sementara permintaan
besar karena jumlah penduduk dunia bertambah terus atau akibat
distribusi yang tidak merata ke sluruh dunia.
Mungkin
sudah merupakan evolusi alamiah seiring dnegan proses industrialisasi
dimana pangsa output agregat (PDB) dari pertanian relatif menurun,
sedangkan dari industri manufaktur dan sektor-sektor skunder lainnya,
dan sektor tersier meningkat. Perubahan struktur ekonomi seperti ini
juga terjadi di Indonesia. Penurunan kontribusi output dari pertanian
terhadap pembentukan PDB bukan berarti bahwa volume produksi
berkurang (pertumbuhan negatif). Tetapi laju pertumbuhan outputnya
lebih lambat dibandingkan laju pertumbuhan output di sektor-sektor
lain.
Bukan
hanya dialami oleh Indinesia tetapi secara umum ketergantungan negara
agraris terhadap impor pangan semakin besar, jika dibandingkan dengan
10 atau 20 tahun yang lalu, misalnya dalam hal beras. Setiap tahun
Indonesia harus mengimpor beras lebih dari 2 juta ton. Argumen yang
sering digunakan pemerintah untuk membenarkan kebijakan M-nya adalah
bahwa M beras merupakan suatu kewajiban pemerintah yang tak bisa
dihindari, karena ini bukan semata-mata hanya menyangkut pemberian
makanan bagi penduduk, tapi juga menyangkut stabilitas nasional
(ekonomi, politik, dan sosial).
Kemampuan
Indonesia meningkatkan produksi pertanian untuk swasembada dalam
penyediaan pangan sangat ditentukan oleh banyak faktor eksternal
maupun internal. Satu-satunya faktor eksternal yang tidak bisa
dipengaruhi oleh manusia adalah iklim, walaupun dengan kemajuan
teknologi saat ini pengaruh negatif dari cuaca buruk terhadap
produksi pertanian bisa diminimalisir. Dalam penelitian empiris,
factor iklim biasanya dilihat dalam bentuk banyaknya curah hujan
(millimeter). Curah hujan mempengaruhi pola produksi, pola panen, dan
proses pertumbuhan tanaman. Sedangkan factor-faktor internal, dalam
arti bisa dipengaruhi oleh manusia, di antaranya yang penting adalah
lusa lahan, bibit, berbagai macam pupuk (seperti urea, TSP, dan KCL),
pestisida, ketersediaan dan kualitas infrastruktur, termasuk irigasi,
jumlah dan kualitas tenaga kerja (SDM), K, dan T. kombinasi dari
faktor-faktor tersebut dalam tingkat keterkaitan yang optimal akan
menentukan tingkat produktivitas lahan (jumlah produksi per hektar)
maupun manusia (jumlah produk per L/petani). Saat ini Indonesia,
terutama pada sektor pertanian (beras) belum mencukupi kebutuhan
dalam negeri. Ini berarti Indonesia harus meningkatkan daya saing dan
kapasitas produksi untuk menigkatkan produktivitas pertanian.
Analisis
SWOT Sektor Pertanian Indonesia
Strengths
(kekuatan)
World
Bank (2003) juga mencatat besarnya potensi sumber daya pertanian
Indonesia terutama untuk areal lahan kering. Tercatat sekitar 24 juta
hektar lahan kering potensial yang merupakan sumber daya yang sangat
penting bagi program diversifikasi pangan dan diverfikasi produksi
pertanian misalnya dengan tanaman kehutanan, peternakan dan
perkebunan. Selama ini sumber daya tersebut belum dikelola dengan
serius. Terkait dengan potensi sumber daya pertanian, Subejo (2009a)
menilai bahwa dalam konteks pembangunan pertanian, secara umum
Indonesia memiliki potensi yang luar biasa. Kelapa sawit, karet, dan
coklat Indonesia mulai bergerak menguasai pasar dunia.
Namun, dalam konteks produksi pangan memang ada suatu keunikan.
Subejo (2009a) mengidentifikasi bahwa Indonesia adalah produsen beras
terbesar ketiga dunia setelah China dan India. Kontribusi Indonesia
terhadap produksi beras dunia sebesar 8,5 persen atau 51 juta ton
(Rice Almanac, 2002). China dan India sebagai produsen utama beras
berkontribusi 54 persen. Bagi negara Vietnam dan Thailand yang secara
tradisional dikenal luas sebagai negara eksportir beras di dunia
ternyata hanya berkontribusi 5,4 dan 3,9 persen secara berurutan.
Rerata produksi beras Indonesia 4,30 ton/hektar (Rice Almanak, 2002)
dan meningkat menjadi 4,62 ton/ha pada tahun 2006 (Munif, 2009).
Produktivitas tersebut sudah melampaui pencapaian India, Thailand,
dan Vietnam. Meskipun masih di bawah produktivitas Jepang dan China
(rerata di atas 6 ton/hektar).
Weakness
(kelemahan)
Meskipun
Indonesia termasuk produsen utama beras dunia, namun Indonesia hampir
setiap tahun selalu menghadapi persoalan berulang dengan pemenuhan
kebutuhan pangan. Subejo (2009a) mencatat ada beberapa persoalan
serius yang perlu dicermati dan dicarikan solusinya. Salah satu sebab
utama adalah jumlah penduduk yang sangat besar. Data statistik
menunjukkan pada kisaran 230-237 juta jiwa. Makanan pokok semua
penduduk adalah beras sehingga sudah jelas kebutuhan beras menjadi
luar biasa besar.
Dengan
mengutip data IRRI, Subejo (2009a) mencatat bahwa penduduk Indonesia
merupakan
pengkonsumsi beras terbesar di dunia dengan konsumsi 154 kg per orang
per tahun. Bandingkan dengan rerata konsumsi di China yang hanya 90
kg, India 74 kg, Thailand 100 kg, dan Philppine 100 kg. Hal ini juga
menunjukkan bahwa program diversifikasi pangan masih jauh dari
berhasil. Sepanjang kita masih mengkonsumsi beras dengan jumlah
sebanyak itu maka problem pangan masih akan sulit diatasi.
Persoalan
yang lain adalah transformasi struktural yang kurang berjalan. Di
mana pun di dunia ada pola bahwa peran pertanian dalam perkonomian
nasional akan semakin menurun dan ada pergerakan angkatan kerja dari
pertanian ke sektor industri dan jasa. Di Indonesia lahan pertanian
semakin dipenuhi oleh angkatan kerja baru karena tidak ada alternatif
lain di luar sektor pertanian untuk mencari pekerjaan. Tentu hal ini
sangat berpengaruh terhadap produktivitas dan efisiensi produksinya.
Dalam tahap, tertentu tesis Clifford Geertz (1963) tentang
agricultural involution nampaknya telah berlaku.
Opportunities
(peluang)
Potensi
pasar produk pertanian utamanya pangan juga sangat menjanjikan. World
Bank
(2003) mencatat bahwa selama 1996-2000, meskipun terjadi krisis
ekonomi namun konsumsi pangan per kapita di Indonesia mengalami
pertumbuhan yang pesat yaitu 8 persen. Potensi pasar ini
merupakan peluang bagi peningkatan produksi pangan nasional. Selama
ini Indonesia masih melakukan impor beberapa komoditas pangan.
Akibat
krisis energi yang sekarang melanda dunia, berbagai pihak mulai
mencari alternatif lain untuk pemenuhan energi dunia salahsatunya
lewat Biofuel
ataupun Biodisel.
Pemilihan
biodiesel sebagai bahan bakar alternatif berbasis pada ketersediaan
bahan baku. Minyak rapeseed adalah bahan baku untuk biodiesel di
Jerman dan kedelai di Amerika. Sedangkan bahan baku yang digunakan di
Indonesia adalah crude
palm oil
(CPO). Selain itu, masih ada potensi besar yang ditunjukan oleh
minyak jarak pagar (Jathropa
Curcas)
dan lebih dari 40 alternatif bahan baku lainnya di Indonesia.
Rancangan
fasilias produksi biodiesel (INBT 2008)
Indonesia
adalah penghasil minyak sawit terbesar kedua setelah Malaysia dengan
produksi CPO sebesar 8 juta ton pada tahun 2002 dan akan menjadi
penghasil CPO terbesar di dunia pada tahun 2012. Dengan
mempertimbangkan aspek kelimpahan bahan baku, teknologi pembuatan,
dan independensi Indonesia terhadap energi diesel, maka selayaknya
potensi pengembangan biodiesel merupakan potensi pengembangan
biodiesel sebagai suatu alternatif yang dapat dengan cepat
diimplementasikan.
Walaupun
pemerintah Indonesia menunjukkan ketertarikan yang besar terhadap
pengembangan biodiesel, pemerintah tetap bergerak pelan dan
juga berhati-hati dalam mengimplementasikan hukum pendukung bagi
produksi biodiesel. Pemerintah memberikan subsidi bagi biodiesel,
bio-premium, dan bio-pertamax dengan level yang sama dengan bahan
bakar fosil, padahal biaya produksi biodiesel melebihi biaya produksi
bahan bakar fosil. Hal ini menyebabkan Pertamina harus menutup
sendiri sisa biaya yang dibutuhkan.
Sampai
saat ini, payung hukum yang sudah disediakan oleh pemerintah
untuk industri biofuel, dalam bentuk Keputusan Presiden ataupun
Peraturan Perundang-undangan lainny, adalah sebagai berikuti:
- Peraturan Presiden No. 5/2006 tentang Kebijaksanaan Energi Nasional
- Instruksi Presiden No. 1/2006 tentang Pengadaaan dan Penggunaan Biofuel sebagai Energi Alternatif
- Dektrit Presiden No. 10/2006 tentang Pembentukan team nasional untuk Pengembangan Biofuel
Peraturan
Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional
menyebutkan pengembangan biodiesel sebagai energi terbarukan akan
dilaksakan selama 25 tahun, dimulai dengan persiapan pada tahun 2004
dan eksekusi sejak tahun 2005. Periode 25 tahun tersebut dibagi dalam
tiga fasa pengembangan biodiesel.
Pada
fasa pertama, yaitu tahun 2005-2010, pemanfaatan biodiesel minimum
sebesar 2% atau sama dengan 720.000 kilo liter untuk memenuhi
kebutuhan bahan bakar minyak nasional dengan produk-produk yang
berasal dari minyak castor dan kelapa sawit.
Fasa
kedua (2011-2015) merupakan kelanjutan dari fasa pertama akan tetapi
telah digunakan tumbuhan lain sebagai bahan mentah. Pabrik-pabrik
yang dibangun mulai berskala komersial dengan kapasitas sebesar
30.000 – 100.000 ton per tahun. Produksi tersebut mampu memenuhi 3%
dari konsumsi diesel atau ekivalen dengan 1,5 juta kilo liter. Pada
fasa ketiga (2016 – 2025), teknologi yang ada diharapkan telah
mencapai level ‘high performance’ dimana produk yang dihasilkan
memiliki angka setana yang tinggi dan casting point yang rendah.
Hasil yang dicapai diharapkan dapat memenuhi 5% dari konsumsi
nasional atau ekivalen dengan 4,7 juta kilo liter. Selain itu juga
terdapat Inpres Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan
Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain. Hal-hal ini
menunjukkan keseriusan Pemerintah dalam penyediaan dan pengembangan
bahan bakar nabati. (Rahayu, 2006)
Hingga
Mei 2007, Indonesia telah memiliki empat industri besar yang
memproduksi biodiesel dengan total kapasitas 620.000 ton per hari.
Industri-industri tersebut adalah PT Eterindo Wahanatama (120.000
ton/tahun – umpan beragam), PT Sumi Asih (100.000 ton/tahun –
dengan RBD Stearin sebagai bahan mentah), PT Indo BBN (50.000
ton/tahun – umpan beragam), Wilmar Bioenergy (350.000 ton/tahun
dengan CPO sebagai bahan mentah), PT Bakrie Rekin Bioenergy (150.000
ton/tahun) dan PT Musim Mas (100.000 ton/tahun). Selain itu juga
terdapat industri-industri biodiesel kecil dan menengah dengan total
kapasitas sekitar 30.000 ton per tahun, seperti PT Ganesha Energy, PT
Energi Alternatif Indonesia, dan beberapa BUMN.
Peluang
untuk mengembangkan potensi pengembangan biodiesel di Indonesia cukup
besar, mengingat saat ini penggunaan minyak solar mencapai sekitar 40
% penggunaan BBM untuk transportasi. Sedang penggunaan solar pada
industri dan PLTD adalah sebesar 74% dari total penggunaan BBM pada
kedua sektor tersebut. Bukan hanya karena peluangnya untuk
menggantikan solar, peluang besar biodiesel juga disebabkan kondisi
alam Indonesia. Indonesia memiliki beranekaragam tanaman yang dapat
dijadikan sumber bahan bakar biodiesel seperti kelapa sawit dan jarak
pagar. Pada saat ini, biodiesel (B-5) sudah dipasarkan di 201 pom
bensin di Jakarta dan 12 pom bensin di Surabaya.
Threats
(ancaman)
Hadirnya
CAFTA (China-Asean
Free Trade Agreement),
sebagai suatu bentuk perjanjian perdagangan bebas antara China dengan
negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia didalamnya, haruslah
benar-benar dicermati dengan teliti. Pasalnya dengan diberlakukannya
model perjanjian semacam ini, tentu saja menimbulkan dampak positif
dan negatif.
Jika
memang Indonesia siap untuk bersaing dengan negara-negara lain,
khususnya China, persiapan yang dilakukan sejak tahun 2004 kemarin
haruslah serius. Dalam peningkatan kualitas, kuantitas, dan
kontinuitas produk-produk pertanian misalnya, haruslah mendapat
perhatian yang khusus. Untuk dapat menghasilkan produk yang baik,
semua persyaratan haruslah dipenuhi, seperti saprotan (sarana
produksi pertanian), misalnya benih, pupuk, irigasi dan lain
sebagainya. Pemberdayaan masyarakat petani (SDM Petani) haruslah
dibina dengan sebaik-baiknya, apalagi jika ingin bersiang dengan
pihak luar. Modal bagi petani haruslah ditingkatkan. Kelembagaan
petani haruslah dikuatkan agar dapat bekerjasama dengan solid
sehingga mampu bersaing dengan mantap. Namun kenyataan di lapangan
tidaklah demikian. Saprotan yang diidam-idamkan petani tidak kunjung
datang. Pemberdayaan petani jarang dilakukan. Modal bagi petani juga
masih sangat kurang. Kelembagaan petani semakin melemah, bahkan tidak
jarang terjadi perang, baik antar petani maupun antara petani dengan
aparat. Jika kenyataannya memang seperti ini, apakah Indonesia mampu
bersaing dengan luar negeri yang notabenenya sudah sangat siap untuk
bersaing dengan kita?
Sebenarnya
tidak ada masalah dengan perdangangan bebas. Bahkan tentu saja
perdagangan merupakan aktivitas yang secara alami terjadi dalam
kehidupan, karena jika ada yang membutuhkan barang, tentu saja ada
yang memproduksinya. Namun akan menjadi masalah jika perdagangan
bebas terjadi pada dua kekuatan yang tidak seimbang, atau dikatakan
juga perdagangan yang tidak adil. Memang dengan adanya perdagangan
bebas ini ada beberapa peluang yang bisa diambil. Misalnya dengan
diberlakukannya tarif bea masuk 0%, harapannya pedagang dan pebisnis
dari dalam negeri mampu meningkatkan penjualan (ekspor) ke luar
negeri. Selain itu, ada beberapa produk yang tentu saja masih dapat
dijadikan produk unggulan ekspor, karena tidak semua tumbuhan
pertanian tumbuh dan berkembang di China. Namun malangnya, banyak
pengusaha yang malah mengembangkan produk yang kurang berkembang
dalam pasar. Disamping itu, kehadiran CAFTA ini seharusnya bisa
membangkitkan kreatifitas masyarakat, khususnya masyarakat petani,
jika dikaitkan dengan dunia pertanian.
Strategi
Peningkatan Potensi Pertanian Indonesia ke Depan:
- Meningkatkan pemanfaatan sumber daya, dan memfokuskan pada kegiatan penelitian unggulan secara optimal.
- Menajamkan skala prioritas serta memperkuat keterkaitan dan keselarasan program antar kementerian dan institusi lain, khususnya kementerian pertanian dan kementerian perdagangan dengan kebutuhan pengguna.
- Membuat kebijakan pertanian yang berpihak kepada rakyat, lewat
- Meningkatkan relevansi, kualitas, nilai tambah ilmiah dan nilai tambah ekonomi sektor pertanian.
- Meningkatkan kerja sama penelitian dan komersialisasinya dengan lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan swasta.
- Meningkatkan akselerasi diseminasi serta mekanisme umpan balik inovasi pertanian. Lewat teknologi dan sarana penanganan pasca panen yang mampu menjaga keawetan produk.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar